Minggu, 24 Mei 2009

Perselisihan Hak vs Perselisihan Kepentingan Dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Perselisihan Hak vs Perselisihan Kepentingan
Dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

(International Human Rights and Politics observer, Alumni of Andalas University,Law Faculty, former chairman of students perliament at Andalas University,Law Faculty, Former Executive Officer ILSA Andalas, and Founder Andalas Student Society of Law and Politics, Associate at Kenny Wiston Law Offices)

Sejak diterapkannya UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dunia perburuhan Indonesia mengenal badan peradilan baru yang khusus menangani sengkete-sengketa hubungan industrial atau sengketa-sengketa perburuhan.

Kasus yang paling sering mengemuka di Pengadilan Hubungan Indistrial (PHI), adalah sengketa perselisihan kepentingan dan sengketa perselisihan hak. Sengketa yang terjadi tidak jarang merupakan hasil kesalahan mengintepretasikan apoa itu perselisihan hak dan apa itu perselisihan kepentingan. Jika kita lihat dalam UU No. 2 tahun 2004 mengenai PPHI pasal 1 angka 2 maka perselisihan hak itu adalah :

Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dari definisi tersebut, maka jelas bahwa perslisihan hak tibul karena adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran. Yang banyak terjadi adalah perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap perjanjian kerja.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan memberikan gaji kepada para karyawannya yang kemudian ditolak oleh para karyawan tersebut dikarenakan oleh masing-masing pihak mempunyai definisi yang berbeda terhadap perjanjian kerja yang telah dibuat, mak sengketa ini termasuk kepada perselisihan hak.
Sekarang kita lihat definisi perselisihan kepentingan menurut UU No.2 tahun 2004, tentang PPHI pasal1 angka 3 :

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dari definisi tersebut perselisihan kepentingan terjadi dalam proses pembuatan ataupun perubahan syarat-syarat kerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Sebagai contoh, jika perusahaan merubah isi dari perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan dari karyawan, maka itu termasuk ke dalam rejim perselisihan kepentingan.

Banyak dari para pihak terutama dari pihak buruh yang menggunakan surat kuasa insidentil, tidak memahami benar isi kedua ketentuan tersebut. Hal ini yang menyebabkan mereka sering tertukar antara perselisihan hak atau perselisihan kepentingan.

Permasalahan yang kemudian timbul selain dari kesalahan intepretasi terhadap Undang-Undang, adalah perbedaan perlakukan yang ditunjukkan oleh badan peradilan hubungan industrial, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI pasal 56. Pasal tersebut menyebutkan:

Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pihak yang menggunakan surat kuasa insidentil lebih banyak memaksakan bahwa suatu perselisihan adalah perselisihan kepentingan walaupun sebenarnya perselisihan tersebut adalah perselisihan hak. Hal ini dikarenakan oleh kewenangan PHI untuk memutus suatu perkara perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama dan terakhir.

Pihak yang menggunakan surat kuasa insidentil tersebut lebih memilih perselisihan kepentingan karena hemat dari segi pendanaan dan putusan yang diharapkan lebih memihak kepada mereka, tidak dapat diajukan ke tingkat kasasi yang akhirnya secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan pun tidak banyak.

Lain halnya jika mereka menggunakan perselisihan hak, selain putusan yang belum tentu memihak kepada mereka, pihak lawan pun dapat mengajukan kasasi. Jika ini dilakukan, maka biaya yang dikeluarkan akan berlipat ganda, bahkan tidak menutup kemungkinan akan memakan biaya lebih besar dari itu.

Sampai kapan pun juga, jika hal ini tidak diantisipasi antara lain dengan revisi UU, maka akan banyak kita temui perbedaan intepretasi mengenai perselisihan hak dan perselisihan kepentingan di dalam PHI.

GUGURNYA HAK MENUNTUT

Lewat tulisan ini saya sekedar ingin mengangkat suatu masalah yang belum begitu diketahui apalagi di pahami oleh sebagian besar masyarakat tentang apa yang di sebut dengan Gugurnya Hak Menuntut.

Sebelum membahas lebih jauh apa itu Gugurnya Hak menuntut lebih baik saya menjelaskan bahwa istilah Gugurnya Hak Menuntut adalah hapusnya kewenangan menuntut pidana sesuai yang diatur pada pasal 76 Bab. VIII KUHP.

Ada beberapa alasan Gugurnya Hak Menuntut menurut KUHP ialah sebagai berikut :

  1. Adanya azas yang melarang seseorang untuk di adili dan di hukum untuk kedua kalinya bagi kejahatan yang sama (NE BIS IN IDEM).
  2. Terdakwa/Tersangka meninggal dunia.
  3. Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan Undang-undang (Daluarsa).
  4. Adanya penyelesaian diluar persidangan.

Istilah gugurnya hak menuntut tidak hanya diatur dalam KUHP saja tetapi diatur dalam pasal 1917 KUHPer yang berbunyi ”Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak atau hukuman tetap”.

Tetapi saya sebagai penulis Cuma ingin menyempitkan pembicaraan tentang Gugurnya Hak Menuntut dalam lingkup si terdakwa meninggal dunia.

Apakah orang yang terdakwa meninggal dunia gugur atas tuntutan hukumannya? Jelas orang yang terdakwa meninggal dunia bebas atas tuntutan/dakwaannya karena dalam KUHP pasal 77 mengatakan bahwa ” Hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya si tersangka”

Jadi hak penuntut hukuman harus di tujukan kepada dirinya si terdakwa dan tidak bisa di alihkan kepada ahli warisnya.

Contoh Kasus

Sudi Ahmad, salah seorang terdakwa kasus penyuapan Mahkamah Agung yang ditahan di Polda Metro Jaya, meninggal dunia. Sebelumnya, dia mengeluhkan sidang perkaranya yang terkatung-katung gara-gara hakimnya berseteru. Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengembuskan napas terakhir di RS Soekanto Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia dilarikan ke rumah sakit itu Jumat (19/5) pukul 18.00 karena sakit hernia. Sejak saat itu, staf Korpri unit MA tersebut dirawat secara intensif. Sebenarnya, terdakwa akan dioperasi, namun keburu meninggal dunia, kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Suyati, istri Sudi Ahmad, mengungkapkan, sejak Sabtu (20/5), perut suaminya membesar dan kembung. Penyakit suaminya itu sudah lama terjadi dan sering kambuh. Kami dapat menerima kematian Bapak. Ini sudah menjadi nasib Pak Sudi, ungkap ibu dari Farah Azri dan Dandi Akbar Darmawan itu sambil menangis. Jenazah Sudi diberangkatkan ke pemakaman Pondok Kelapa sekitar pukul 13.00 dari rumah kakak laki-lakinya, Nazirin, di Jalan Gandria, RT 07, RW 07, Kemayoran. Sudi adalah salah seorang di antara empat karyawan MA yang didakwa menerima suap dari Harini Wijoso, penasihat hukum Probosutedjo. Uang itu disebut-sebut akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan untuk membebaskan Probo dari hukuman korupsi dana reboisasi di tingkat kasasi. Kasusnya masih diproses di pengadilan. Kasus itu beberapa kali memicu pro-kontra mengenai pemeriksaan Bagir Manan, ketua majelis hakim kasasi perkara Probo. Terakhir, tiga hakim yang mengadili Harini walk out untuk memprotes ketua majelis yang tidak mau menghadirkan Bagir sebagai saksi ke sidang. Dua sidang kasus penyuapan itu selanjutnya terkatung-katung hingga kini. Mestinya, Rabu (24/5) jaksa penuntut umum akan membacakan tuntutan terhadap Sudi. Karena dia meninggal, KPK akan meminta majelis hakim yang mengadili perkaranya untuk menggugurkan tuntutan. Perkaranya gugur demi hukum. Sesuai pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berhak mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penuntutan. Yang berhak adalah majelis hakim karena perkara sudah bergulir ke pengadilan. (ein) Sumber: Jawa Pos, 23 Mei 2006

Kalu saya mengomentari kasus tersebut diatas bahwa terdakwa Sudi Ahmad tentang kasus penyupan gugur demi hukum karena Sudi sebagai terdakwa sudah meninggal dunia. Tetapi kalau kasus tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang maka prosesnya jalan terus, karena si terdakwa lainnya masih hidup, tetapi sebaliknya kalau semua terdakwa meninggal maka kasus tersebut ditutup karena batal demi hukum. Dengan gugurnya tuntutan tersebut Majelis Hakim harus membatalkan tuntutan dari jaksa penuntut dengan mengeluarkan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Malpraktik dan Urgensi Peradilan Profesi Kedokteran

Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis beberapa pekan terakhir menarik untuk disimak. Dugaan kelalaian pelayanan kesehatan yang banyak dilaporkan masyarakat, dilihat oleh sebagian besar masyarakat sebagai kasus malpraktik.. Ketidaktahuan masyarakat dalam membedakan mana tindakan malpraktik, kecelakaan dan kelalaian dalam tindakan medik, menjadi masukan tersendiri betapa semakin pentingnya diberlakukan UU tentang Praktik Kedokteran dan Hak Serta Kewajiban Pasien. Apalagi jika kita mengiyakan temuan National Health Service (NHS) yang menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medik yang lain.

Pasal 359 dan 360 KUHP pada lingkup “dugaan kelalaian” dapat dipakai sebagai rujukan. Hanya saja, permasalahan akan muncul ketika menyangkut kapasitas penyidik dalam memahami persoalan “dugaan kelalaian” tersebut, mulai dari polisi hingga jaksa. Bahkan kalau sampai pengadilan, hakimnya pun mungkin masih kurang paham.

Pada kondisi ini, biasanya tuntutan hukum pasien menjadi tidak jelas arahnya. Di samping karena lemahnya profesionalisme pengadilan dalam membedakan mana malpraktik, kecelakaan atau kelalaian tindakan medis akibat belum adanya standar tetap, juga karena masih kuatnya hegemoni organisasi profesi kedokteran dalam menyelamatkan rekan sejawat dari jeratan hukum.

Alasan bahwa buruknya penyelesaian hukum dari kasus kelalaian medik atau malpraktik, bukan karena tidak memadainya undang-undang, tetapi karena buruknya penegakan hukum secara keseluruhan di Indonesia (sebagaimana diungkapkan Irfan), perlu disimak kembali. Pernyataan tersebut, berdasarkan realitas yang ada, cenderung tidak menunjukkan alasan yang cukup rasional. Jadi, memang dibutuhkan sebuah standar pelayanan kesehatan yang menjadi aturan umum untuk dapat menilai bagus tidaknya penegakan hukum di negara kita.

Keunikan hubungan antara pasien-dokter terletak pada aspek hukum dan etis yang melandasinya (etikolegal). Sebagai hukum alamiah yang tertinggi sejak dulu, pedoman-pedoman profesional secara etis sering melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum. Jika demikian, dalam konsep etikolegal, maka sebenarnya pada setiap pelanggaran hukum, sudah pasti merupakan pelanggaran etik, tetapi pelanggaran etik harus dicermati dulu dalam mengungkapkan kebenarannya secara material untuk diklaim sebagai pelanggaran hukum.

Pelanggaran hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dapat melahirkan hukum pidana maupun perdata. Hanya saja, di negara kita belum ada pengaturan pemerintah tentang penatalaksanaan sengketa medik ditinjau secara hukum. Bahkan yang lebih parah adalah belum jelasnya hak-hak pasien selama menjalani perawatan kesehatan, baik yang dilakukan oleh dokter praktik maupun oleh rumah sakit.

Di sinilah diperlukan sebuah aturan yang menjelaskan secara spesifik hak dan kewajiban pasien-dokter dalam sebuah interaksi terapeutik. Hak dan kewajiban pasien-tenaga medis (dokter) belum cukup jelas diatur dalam KUHP yang kita pedomani. Pun tak terkecuali UU Kesehatan No. 23/1992. BAB X tentang Ketentuan Pidana belum juga memadai dalam menjelaskan jenis-jenis pelanggaran atas hak seorang pasien yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dalam transaksi terapeutik.

Bahkan tenaga medis harusnya melengkapi setiap pasiennya dengan medical record, sehingga komunikasi dapat tetap terbangun antara dokter dan pasiennya. Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah perlunya ditetapkan prosedur standar operasional (Standard Operational Procedure/SOP) pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sehingga terdapat acuan tindakan terapeutik yang dapat dijadikan sebagai kekuatan hukum dalam melindungi pasien, baik dari tindakan malpraktik, kecelakaan maupun kelalaian tindakan medik.

Perlu menjadi perhatian laporan Bank Dunia (World Bank) tahun 2003 lalu. Laporan tersebut melansir 70 persen dokter Indonesia tidak membuat medical record atau catatan medik perkembangan penyakit serta terapi yang pernah diberikan pada pasiennya.

Diharapkan dengan ditetapkannya UU Praktik Kedokteran (bertujuan melindungi pasien, melindungi dokter, dan meningkatkan mutu pelayanan), maka diharapkan akan ada kejelasan terhadap perlindungan “konsumen” kesehatan di Indonesia, sehingga dapat dipastikan bahwa hak-hak pasien itu adalah penting, minimal hak mereka atas informed consent, semacam pemberitahuan tentang penyakit pasien, tindakan yang akan dilakukan, dan risiko apa yang mungkin akan terjadi dari suatu tindakan medik, sebelum tindakan itu dilakukan padanya, serta medical record, seperti yang dijelaskan di muka, sebagai bagian dari upaya perlindungan hukum baginya.