Minggu, 24 Mei 2009

Malpraktik dan Urgensi Peradilan Profesi Kedokteran

Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis beberapa pekan terakhir menarik untuk disimak. Dugaan kelalaian pelayanan kesehatan yang banyak dilaporkan masyarakat, dilihat oleh sebagian besar masyarakat sebagai kasus malpraktik.. Ketidaktahuan masyarakat dalam membedakan mana tindakan malpraktik, kecelakaan dan kelalaian dalam tindakan medik, menjadi masukan tersendiri betapa semakin pentingnya diberlakukan UU tentang Praktik Kedokteran dan Hak Serta Kewajiban Pasien. Apalagi jika kita mengiyakan temuan National Health Service (NHS) yang menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medik yang lain.

Pasal 359 dan 360 KUHP pada lingkup “dugaan kelalaian” dapat dipakai sebagai rujukan. Hanya saja, permasalahan akan muncul ketika menyangkut kapasitas penyidik dalam memahami persoalan “dugaan kelalaian” tersebut, mulai dari polisi hingga jaksa. Bahkan kalau sampai pengadilan, hakimnya pun mungkin masih kurang paham.

Pada kondisi ini, biasanya tuntutan hukum pasien menjadi tidak jelas arahnya. Di samping karena lemahnya profesionalisme pengadilan dalam membedakan mana malpraktik, kecelakaan atau kelalaian tindakan medis akibat belum adanya standar tetap, juga karena masih kuatnya hegemoni organisasi profesi kedokteran dalam menyelamatkan rekan sejawat dari jeratan hukum.

Alasan bahwa buruknya penyelesaian hukum dari kasus kelalaian medik atau malpraktik, bukan karena tidak memadainya undang-undang, tetapi karena buruknya penegakan hukum secara keseluruhan di Indonesia (sebagaimana diungkapkan Irfan), perlu disimak kembali. Pernyataan tersebut, berdasarkan realitas yang ada, cenderung tidak menunjukkan alasan yang cukup rasional. Jadi, memang dibutuhkan sebuah standar pelayanan kesehatan yang menjadi aturan umum untuk dapat menilai bagus tidaknya penegakan hukum di negara kita.

Keunikan hubungan antara pasien-dokter terletak pada aspek hukum dan etis yang melandasinya (etikolegal). Sebagai hukum alamiah yang tertinggi sejak dulu, pedoman-pedoman profesional secara etis sering melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum. Jika demikian, dalam konsep etikolegal, maka sebenarnya pada setiap pelanggaran hukum, sudah pasti merupakan pelanggaran etik, tetapi pelanggaran etik harus dicermati dulu dalam mengungkapkan kebenarannya secara material untuk diklaim sebagai pelanggaran hukum.

Pelanggaran hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dapat melahirkan hukum pidana maupun perdata. Hanya saja, di negara kita belum ada pengaturan pemerintah tentang penatalaksanaan sengketa medik ditinjau secara hukum. Bahkan yang lebih parah adalah belum jelasnya hak-hak pasien selama menjalani perawatan kesehatan, baik yang dilakukan oleh dokter praktik maupun oleh rumah sakit.

Di sinilah diperlukan sebuah aturan yang menjelaskan secara spesifik hak dan kewajiban pasien-dokter dalam sebuah interaksi terapeutik. Hak dan kewajiban pasien-tenaga medis (dokter) belum cukup jelas diatur dalam KUHP yang kita pedomani. Pun tak terkecuali UU Kesehatan No. 23/1992. BAB X tentang Ketentuan Pidana belum juga memadai dalam menjelaskan jenis-jenis pelanggaran atas hak seorang pasien yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dalam transaksi terapeutik.

Bahkan tenaga medis harusnya melengkapi setiap pasiennya dengan medical record, sehingga komunikasi dapat tetap terbangun antara dokter dan pasiennya. Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah perlunya ditetapkan prosedur standar operasional (Standard Operational Procedure/SOP) pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sehingga terdapat acuan tindakan terapeutik yang dapat dijadikan sebagai kekuatan hukum dalam melindungi pasien, baik dari tindakan malpraktik, kecelakaan maupun kelalaian tindakan medik.

Perlu menjadi perhatian laporan Bank Dunia (World Bank) tahun 2003 lalu. Laporan tersebut melansir 70 persen dokter Indonesia tidak membuat medical record atau catatan medik perkembangan penyakit serta terapi yang pernah diberikan pada pasiennya.

Diharapkan dengan ditetapkannya UU Praktik Kedokteran (bertujuan melindungi pasien, melindungi dokter, dan meningkatkan mutu pelayanan), maka diharapkan akan ada kejelasan terhadap perlindungan “konsumen” kesehatan di Indonesia, sehingga dapat dipastikan bahwa hak-hak pasien itu adalah penting, minimal hak mereka atas informed consent, semacam pemberitahuan tentang penyakit pasien, tindakan yang akan dilakukan, dan risiko apa yang mungkin akan terjadi dari suatu tindakan medik, sebelum tindakan itu dilakukan padanya, serta medical record, seperti yang dijelaskan di muka, sebagai bagian dari upaya perlindungan hukum baginya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar